Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah ….
Pelan-pelan, bapak saya mengorek-korek tumpukan kaca mata. Ada yang baru, ada yang bekas. “Pak, kayak gini berapa?” tanya bapak. “Satus seket (150 ribu rupiah, ed.),” jawab penjualnya. Saya pun membatin, “Sama dengan harga baru.”
Merasa tidak ada yang cocok, Bapak pun beralih ke PKL (pedagang kaki lima) yang lain di sekitar pasar Beringharjo, Jogja. Beliau meminta saya untuk tetap di tempat, menjaga barang. Setelah bapak saya pergi, si penjual ngomel-ngomel di depan temannya, “Lihat-lihat …. Diacak-acak …. Tak ceklek-ceklek sikile, men kapok (saya patahkan kakinya, biar kapok, pen.).” Mendengar ucapan penjual ini, saya sangat kaget. Masya Allah, baru kali ini saya bertemu penjual yang “ngamuk” gara-gara barangnya dipilih.
Tak jarang, kasus semacam juga kita temukan di tempat lain. Yang namanya penjual, ada yang enak diajak bicara, ada yang tipenya cuek, bahkan ada yang mudah ngambek karena barangnya ditawar. Tidak hanya penjual, pembeli juga demikian; dari yang mulai “alot” ketika menawar, tarik-ulur berjam-jam, sampai orang yang hanya menerima tanpa menawar. Konflik-konflik semacam ini tidak bisa dihilangkan dari kehidupan kita dalam bermuamalah.
Ya, itulah kepribadian manusia. Ada yang suka konflik, maunya menang terus. Ada juga yang berusaha menjauh dari konflik. Namun, apa pun bentuk warna-warni karakter manusia, itu bukan fokus pembicaraan kita. Hanya saja, ada satu hal yang perlu ita ingat bersama: sedikit maupun banyak, setiap konflik yang terjadi antara diri kita dengan orang lain akan memberikan dampak tekanan batin bagi pelakunya. Meskipun, bisa jadi, peristiwa itu sudah dianggap selesai, namun tetap saja yang namanya “ketidakserasian” akan menggelayuti perasan kita.
Bisa Anda bayangkan, jika dalam sehari, kita harus mengalami konflik. Betapa banyak beban perasaan yang dialami orang yang suka berkonflik. Karena itu, ada sebagaian ulama, semacam Imam Bukhari, yang sama sekali tidak ingin mengalami konflik dalam masalah muamalah. Sampai-sampai, ketika beliau hendak membeli sesuatu di pasar, beliau meminta orang lain untuk membelikannya. Beliau sangat khawatir timbul konflik antara beliau dengan penjual.
Konflik dunia akan berulang di akhirat
Inilah bagian yang paling berat. Tekanan batin akibat konflik akan kembali dimunculkan di hari akhir. Terkadang, kita berkeinginan agar konflik yang kita lakukan tidak diketahui orang lain, namun bisa jadi, ini akan ditampakkan di hadapan seluruh makhluk. Allah berfirman,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ. ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ
“Kamu akan mati dan mereka akan mati. Kemudian, kalian akan berdebat di sisi Rabb kalian pada hari kiamat.” (QS. Az-Zumar:30–31)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan,
إن هذه الآية -وإن كان سياقها في المؤمنين والكافرين، وذِكْر الخصومة بينهم في الدار الآخرة-فإنها شاملة لكل متنازعين في الدنيا، فإنه تعاد عليهم الخصومة في الدار الآخرة
“Ayat ini, meskipun konteksnya tentang orang mukmin dan orang kafir serta mengingatkan tentang perdebatan antara mereka di hari kiamat, namun juga mencakup semua pelaku konflik ketika di dunia. Perdebatan antara mereka ini akan diulangi lagi di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7:96)
Kemudian, beliau membawakan sebuah atsar, yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwa ketika ayat ini turun, seorang sahabat yang bernama Az-Zubair bin Awam bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah perdebatan yang terjadi di antara kita akan diulangi lagi (di akhirat) setelah terjadi di dunia ini, selain beban dosa yang kita tanggung?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul! Sungguh, perselisihan kalian akan diulangi, sampai semua hak dikembalikan kepada pemiliknya.” Setelah itu, Zubair berkomentar, “Jika demikian, berarti peristiwanya sangat mengerikan ….” (HR. Ahmad dan Turmudzi; dan dinilai sahih oleh Al-Albani; lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, 7:96)
Karena itu, wajar jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut salah satu orang yang jelek di sisi Allah adalah orang yang paling “sulit” ketika berkonflik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أبغض الرجال إلى الله الأَلَدُّ الخَصِم
“Orang yang paling Allah benci adalah orang yang sulit ketika berkonflik.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كفى بك إثماً ألا تزال مخاصماً
“Cukuplah kamu dianggap melakukan dosa ketika kamu selalu melakukan konflik.” (HR. Turmudzi)
Bisa kita bayangkan, betapa capai dan letihnya perasaan orang yang sering berkonflik. Setumpuk dosa dan kesalahan dibebankan di pundaknya. Itu pun masih ditambah dengan semua tekanan batin dari setiap konflik yang pernah dia lakukan di dunia. Masya Allah, bagaimana mungkin orang bisa merasakan ketenangan? Hanya tinggal satu harapan: semoga Allah mengampuni kita.
Jadilah orang yang suka mengalah
Semoga ini bisa meringankan beban kita ketika di akhirat. Berusahalah untuk menyelesaikan konflik di dunia ini secara tuntas. Jangan ada lagi perasaan yang masih mengganjal dan jangan sampai itu dibiarkan. Bila perlu, berusahalah untuk senantiasa mengalah, meskipun secara zahir kita dirugikan. Ini mungkin sangat berat, namun bukan berarti ditinggalkan. Semuanya bisa dilatih dan dibiasakan. Hanya saja, bagi mereka yang belum terbiasa, diperlukan sedikit waktu untuk belajar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan banyak janji keutamaan bagi orang yang memiliki sikap mengalah. Dalam sebuah hadisnya, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah merahmati orang yang ‘lugu’ ketika menjual, ketika membeli, dan ketika menuntut hak.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat yang lain, dari sahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
“Saya memberi jaminan, agar mendapatkan rumah di sekitar surga, bagi setiap orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun dia berada di pihak yang benar.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Tidak ada pilihan lain, selain mencoba untuk menjadi orang “lugu” dalam setiap konflik. Jangan dibayangkan hukumannya hanya hukuman fisik. Jika Anda peduli nasib Anda di akhirat, jadikanlah perasaan Anda tidak terlalu diletihkan dengan berbagai tekanan batin akibat konflik estafet di akhirat. Allahu Al-Musta’an.